Rabu, 18 Desember 2013

“LEA” Tangisan Bayi Dari Pulau Flores

         Lea merupakan sebutan masyarakat lokal di pulau Flores pada seekor burung berwarna hitam, berparuh tebal dan bersuara pendek, keras dan serak seperti suara bayi menangis “lea..lea..lea…”. Mungkin atas dasar suaranya seperti itu, sehingga masyarakat lokal Flores menyebutnya Lea. Padahal nama ilmiah dari burung ini adalah Corvus florensis atau Gagak Flores (anggota famili Corvidae). Secara umum burung ini mirip dengan Ka (sebutan masyarakat lokal Flores dari jenis Corvus macrorhynchos), hanya ukurannya yang lebih kecil (40 cm) dibandingkan dengan Ka.
Gambar 1. Sketsa Lea (Corvus florensis)
          Lea merupakan salah satu jenis burung endemik yang hanya di temukan di dataran rendah Pulau Flores bagian barat (Birdlife International, 2001) dan Pulau Rinca (Trainor in litt, 2007 dalam IUCN redlist, 2013). Berdasarkan persebarannya menurut Birdlife International (2001), Lea dapat dijumpai di hutan basah yang rusak dan semi luruh daun yang ketinggiannya tidak lebih dari 950 meter di atas permukaan laut. Selain itu, berdasarkan laporan dari Trainor (2000) burung ini dapat ditemukan di dalam hutan, pinggiran hutan serta sering ditemukan diluar hutan. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Burung Indonesia beserta dua mahasiswa pada bulan Juli hingga Agustus 2012 lalu, Lea ditemukan di Desa Golomori dan Warloka hal ini berarti menunjukkan bahwa persebarannya hingga saat ini masih terdapat Flores bagian barat.
Persebaran Flores
Gambar 2. Persebaran Lea di Flores (Rudyanto, 2001)
         Setiap kali perjumpaan, burung ini hanya berjumlah satu individu dengan perjumpaan yang relatif jarang. Bahkan kadang hanya terdengar suaranya yang seperti tangisan bayi, “lea…lea..”. Burung ini merupakan burung terestrial yang beraktifitas di bagian kanopi dan subkanopi. Di Flores   bagian barat, burung ini dijumpai di kaki bukit savana, hutan hujan bahkan  di sekitar permukiman penduduk. Masyarakat di Golomori dan Warloka, juga banyak yang mengenal dan mengetahui burung ini. Berdasarkan informasi dari Kutilang Indonesia (2012), musim berbiak terjadi dari bulan September sampai Januari. Sarang terbentuk dari jalinan ranting yang diletakkan pada pohon dengan ketinggian sarang sampai 12 m dari permukaan tanah. Jumlah telur 2-3 butir.
          Pulau-Pulau di Nusa Tenggara, seperti Flores memiliki hutan yang sedikit, dan cenderung didominasi oleh savana yang berbukit-bukit. Hutan luruh daun biasanya hanya terdapat di kaki savana dengan kondisi yang terancam rusak. Rusaknya hutan disebabkan oleh penggundulan hutan dan peningkatan lahan untuk pertanian (Birdlife International, 2001). Meskipun, Lea cukup toleran terhadap degradasi hutan sebagai tempat untuk beraktifitas. Namun secara tidak langsung Lea membutuhkan habitat untuk meletakkan sarang-sarangnya pada pohon-pohon yang besar. Jika semakin lama, pohon-pohon yang berpotensi sebagai sarang bagi Lea ditebang, maka secara otomatis Lea akan kehilangan habitat sebagai tempat bersarang. Dan secara otomatis, jumlah populasi Lea pun akan semakin menurun.
         Mulai tahun 1994 hingga 1996, Lea dikategorikan sebagai jenis yang status keterancamannya Vulnarable (rentan) menurut IUCN. Kemudian, pada tahun 2000, terjadi penurunan populasi Lea sehingga status keterancamannya naik menjadi Endangered (terancam) hingga saat ini. Faktor penurunan populasi Lea disebabkan oleh degradasi habitat akibat penggundulan hutan dan peningkatan lahan untuk pertanian (Birdlife International, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
BirdLife International (2001) Threatened birds of Asia: the BirdLife International Red Data Book. Cambridge, UK: BirdLife International
BirdLife International 2012. Corvus florensis. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.2. <www.iucnredlist.org>. (19 June 2013)
Kutilang Indonesia. 2012. Gagak Floreshttp://www.kutilang.or.id (19 Juni 2013)
Trainor, C., Prayitno, W., Lesmana, D., Gatur, A. 2000. Mencari Masa Depan. PKA/Birdlife Indonesia Programme/WWF Indonesia. Jakarta/Bogor

Tidak ada komentar: