Kakatua-Kecil Jambul-Kuning (Cacatua sulphurea) merupakan salah satu jenis burung yang termasuk dalam famili Psittacidae, yaitu kelompok burung paruh bengkok yang keras dengan posisi kaki dua jari menghadap ke belakang. Sarang dibuat di lubang pohon. Secara morfologi, burung ini memiliki ukuran sedikit lebih besar daripada tekukur. Warna bulu putih bersih, dengan jambul dan pipi berwarna kuning. Burung ini memiliki empat sub spesies yang tersebar, yaitu C.s.abbotti di Kepulauan Masalembo, C.s. parvula di Nusa Tenggara, mulai dari Bali hingga Timor bagian barat (kecuali Sumba), C.s. citrinocristata di Sumba danC.s.sulphurea di Sulawesi (White dan Bruce, 1986, Coates dan Bishop, 1997 dalam Setiawan, 2000).
Berdasarkan status keterancaman redlist IUCN 2007, Kakatua-Kecil Jambul-Kuning (Cacatua sulphurea) termasuk dalam kategori CR (Critical Endangered) yaitu sangat terancam punah. Selain itu, status peraturan perdagangan internasional menurut CITES termasuk dalam kategori Appendix I (semua jenis yang terancam punah dan memberi dampak dampak apabila diperdagangkan. Perdagangan hanya diijinkan hanya dalam kondisi tertentu misalnya untuk riset ilmiah). Sehingga, sebagai dasar hukum bagi burung ini, pemerintah membuat status perlindungan dalam Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (Sukmantoro dkk, 2007).
Selama kurun waktu 10 – 15 tahun, spesies ini mengalami ancaman yang besar di alam akibat penangkapan yang berlebihan untuk diperdagangkan dan degradasi habitat. Habitat yang masih sesuai dengan kebutuhan Kakatua-Kecil Jambul-Kuning (Cacatua sulphurea) adalah daerah peralihan, seperti di Nusa Tenggara Timor dan Sulawesi (Agista, 2001). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Imansyah, dkk tahun 2005 di Pulau Komodo, diperoleh bahwa 100 ekor di Rinca dan 500 ekor di P. Komodo. Angka ini dianggap nyaman untuk jumlah populasi burung di P. Komodo, tapi yang harus diperhatikan adalah bagaimana kelanjutan dalam konservasi terhadap spesies ini. Selain Taman Nasional Komodo, masih ada lagi beberapa tempat lain yang menginformasikan keberadaan Kakatua ini. Diantaranya adalah di Flores : 14, Komodo : 85 – 90, Sumbawa : 14, Moyo : 10, Lembata/Larantuka : 38, Nusa Penida : 6, Alor : 80, Pantar : 29, dan Timor : 18 (Widodo, 2009).
Lokasi lain yang memiliki potensi besar tentang keberadaan Kakatua-Kecil Jambul-Kuning (Cacatua sulphurea) adalah bentang alam Mbeliling Flores. Oleh karena itu, perlu adanya studi lanjut mengenai Kakatua-Kecil Jambul-Kuning (Cacatua sulphurea) secara berkelanjutan untuk terus melestarikan dan mempertahankan habitatnya. Meskipun kawasan Wallacea merupakan daerah yang masih memiliki habitat yang mendukung keberadaan burung ini, akan tetapi perlu ada tindak lanjut terkait dengan kondisi yang terjadi seperti sekarang ini, seperti perdagangan, penangkapan, perburuan dan perusakan habitat.
Begitu sampai di Flores, saya bertemu dengan Laura, salah satu staf Burung Indonesia yang berasal dari Australia dan sudah 3 tahun bekerja di Mbeliling. Laura sudah sangat pandai memakai bahasa Indonesia, jadi ketika ngobrol dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Menurut penuturannya, Kakatua di Australia sangat banyak, bahkan sangat dekat dengan manusia. Ketika kondisi yang terjadi di Australia diterapkan di Indonesia, sepertinya penangkapan terhadap Kakatua akan terus terjadi. Karena meskipun sudah diterapkan peraturan terhadap perlindungan, namun perdagangan pun masih terus terjadi terhada burung-burung yang dilindungi.
|
Gambar 1. Kakatua-kecil Jambul-kuning |
Penelitian Cacatua sulphurea di Flores didanai oleh Burung Indonesia, Birdlife Denmark (DOF) dengan The Royal Danish Ministry of Foreign Affairs (DANIDA). Penelitian Kakatua ini dilakukan oleh Feri Irawan (Burung Indonesia), Faisal Abdul Aziz (mahasiswa IPB), dan Nur Sita Hamzati (Mahasiswa ITS). Penelitian dilakukan selama 14 hari di Desa Golomori dan 3 hari di Desa Warloka. Munculnya lokasi penelitian ini berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya serta informasi dari masyarakat yang pernah melihat Kakatua. Golomori dan Warloka merupakan lokasi yang terletak di daerah bagian barat dari Pulau Flores dan berdekatan dengan Pulau Rinca.
Penelitian ini menjadi bukti kedua bahwa Kakatua-kecil Jambul-kuning di Flores merupakan Kakatua yang berasal dari Pulau Rinca, penelitian sebelumnya dilakukan oleh Agista, dkk. Kakatua ini datang ke Flores sekitar pukul 06.35, dan kembali ke pulau Rinca sekitar pukul 17.35. Pengamatan yang dilakukan pertama kali, diperoleh jumlah Kakatua yang datang hanya dari dua pintu masuk yaitu Kampung Lenteng dan Lajar hanya ada 7 individu untuk grup pertama dan 5 individu untuk grup kedua. Jumlah yang ditemukan ini sangat sedikit sekali sebenarnya. Akan tetapi, penelitian ini masih bisa dikatakan beruntung karena hari pertama penelitian masih bisa bertemu Kakatua di Flores. Karena beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa 17 hari tidak menemukan, 20 hari tidak ditemukan, 15 hari tidak ditemukan, dan lain-lain.
Gambar 2. Secuil mangrove untuk Kakatua
Ketika Kakatua datang dari pulau Rinca, pijakan pertama adalah mangrove yang terdapat di Kampung Lenteng. Sonneratia alba yang merupakan jenis pohon mangrove tertinggi yang menjadi tempat bertengger favorit. Tinggi pohon mangrove ini sekitar 12-13 meter, bagian cabang-cabang yang berukuran agak besar. Di pohon tersebut juga terlihat seperti ada lubang sarang mati. Akan tetapi pada saat pengamatan tidak terdapat ditemukan Kakatua yang sedang masuk ke dalam sarang. Tetapi menurut informasi dari masyarakat, Kakatua menggunakan pohon Bangkau (Sonneratia alba) sebagai tempat bersaranya. Bahkan ketika pohon tersebut sedang berbuah, sering turun dan memakan buah tersebut.
Penelitian ini tidak hanya dilakukan di Kampung Lenteng saja, akan tetapi dilanjutkan di Kampung lain, yaitu Nggoer, Tao, Lajar, Raong sambil melakukan wawancara kepada warga. Selanjutnya, lokasi penelitian dilakukan di Lajar, dimana lokasi ini terdapat di tepi pantai. Informasi tersebut menyatakan bahwa di Lajar merupakan daerah yang sering dijumpai Kakatua, karena dulunya disana merupakan bekas kebun. Banyak tersedia pohon pakan, bahkan juga berpotensi sebagai pohon sarang. Berbagai macam literatur dari hasil penelitian menyebutkan bahwa, pohon pakan Kakatua adalah Buah Kapuk, Bunga Kelapa, Asem, Kole, Jagung, buah Mangrove, dan lain-lain. Karena penelitian dilakukan pada bulan Juli dan pada waktu musim kemarau, sehingga meemungkinkan bahwa ketersediaan pakan yang terdapat di Flores menjadi terbatas.
Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa burung ini ditemukan sedang makan jenis buah-buahan yang persebaran bijinya dibantu oleh angin (anemokori). Jenis buah yang dimakan di Flores salah satunya adalah “Kole” atau Calotropis gigantea. Jika dilihat dari persediaan dan persebaran tumbuhan ini, maka ketersediaan pakan bagi Kakatua akan menjadi sangat terbatas di Flores. Karena jumlah Kakatua yang ditemukan terakhir terhitung sekitar 80 ekor. Maka perlu adanya rekomendasi, untuk menjaga kelestarian habitat terhadap pohon pakan dan pohon sarang Kakatua.
Setelah diketahui bahwa Kakatua tersebut masuk ke dalam kampung, maka dari daerah pesisir para peneliti berpindah ke arah kampung. Para peneliti tersebut melakukan wawancara kembali kepada masyarakat. Kebanyakan dari masyarakat mengatakan sering bertemu dengan Kakatua. Akhirnya setelah ditelusuri jejaknya dari atas bukit, terlihat bahwa Kakatua tersebut bergerak dengan mengikuti alur sungai. Lokasi yang dijadikan tempat berkumpul adalah pertengahan antara Kampung Ra’ong, Tao dan Nggoer. Lokasi ini merupakan lokasi dimana terdapat sungai dan pohon besar. Ketika sampai di tempat ini, Kakatua selalu hinggap pada pohon yang tertinggi, salah satunya adalah pohon Kapuk (Ceiba petandra) yang memiliki tinggi antara 13-15 meter. Dan ketika Kakatua sudah bertengger antara 10-15 menit, maka satu persatu atau ada yang secara bergerombol turun ke bawah tajuk. Karena sulitnya pengamatan dari atas bukit, maka diputuskan untuk mendekati lokasi tempat berkumpulnya Kakatua.
Gambar 3. Ngalamun Nunggu Kakatua
Selanjutnya peneliti menghampiri lokasi dimana Kakatua turun ke bawah tajuk dan mengamatinya. Setelah diamati dan dicari, maka ditemukan kembali bahwa makanan yang dimakan Kakatua adalah buah “Kole” (Calotropis gigantea) lagi. Selain makan, Kakatua menghabiskan waktu siangnya untuk beristirahat dibawah tajuk. Belum dapat diketahui, apakah sungai besar tersebut merupakan sumber air utama untuk minum Kakatua, karena selama penelitian belum diperoleh bukti bahwa Kakatua tersebut minum di sumber air tersebut. Setelah hari sudah menjelang sore, Kakatua kembali bertengger diatas pohon tertinggi. Ketika semua sudah berkumpul diatas, maka mereka secara bergerombol kembali ke Pulau Rinca.
Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang timbul dan belum terjawab secara keseluruhan. Sehingga dengan adanya informasi singkat ini dapat memberikan gambaran kepada para peneliti selanjutnya untuk mencari tau bagaimana ketersediaan pohon pakan di Pulau Rinca. Karena sampai saat ini juga belum dapat diketahui, mengapa si “Keka” atau Cacatua sulphurea ini terbang jauh-jauh dari Pulau Rinca ke Flores? Apakah hanya untuk makan saja…??
Selanjutnya silahkan buka pikiran anda untuk mempelajari burung Cantik nan Lucu ini…
PIKIRKAN..!!!