Ketika umur masih 22 tahun, prinsip mengenai jodoh muncul di umur 25 tahun. Santai, belum waktunya.
Selama 3 tahun itu idealisme nampak bahwa urusan jodoh gampang, nanti nanti juga bisa. Sembari mengagumi orang-orang populer dan keren untuk memuaskan diri meski hanya sekedar memandang tidak menyanding. Menjadi inspirasi untuk menjadikan diri lebih baik.
Teruslah berjalan waktu, umur bertambah satu tahun... Satu tahun lagi... Bertambah setahun lagi... Dan lagi... Dan barulah terasa di umur 28. Lhoh kok udah 28 aja. Mana jodoh tak nampak didepan mata. Semakin ghoib tak tak ada bayangan. Tak ada impian, dan ada yang memandang. Kosyooooong....
Semenjak saat itu, setiap hari hanya memikirkan kematangan diri dan pendamping yang pasti. Seminggu dua minggu, ternyata berbulan-bulan... Sampai akhirnya kini hampir 30. Yang ternyata masih zonk juga. Bukan karena tidak ada. Tapi karena ditunda-tunda.
PeHaPe tau kan rasanya... Kayak gini ternyata, berkali-kali tidak ada kepastian, karena memang kami tidak saling mengenal dari awal.
Sudah tau kan, konsep taaruf yang dibilang pacaran setelah menikah, akhirnya terjebak dimanfaatkan sebagai pacar sebelum menikah. Berbulan-bulan ditunda-tunda ternyata tidak ada tanda-tanda. Seperti orang menyia-nyiakan waktu dan punya banyak waktu untuk bercanda. Padahal umur tidak ada yang tau sampai mana.
Mau kusebut satu persatu tapi semua tak nyata, jadi percuma. Biar hanya jadi memori saja. Mungkin karena itu belum waktunya (#part2)